Terkini

Saturday, 26 July 2008

Ekonomi dalam Perspektif Konvensional dan Fiqh Muamalah (bag-1)

oleh Zulkarnain M. Ali

Ilmu ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh mu’amalat). Sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain, ilmu eknomi Islam juga memiliki dua objek kajian yaitu objek formal dan objek material. Objek formal ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek prediksi tentang laba rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan ilmu ekonomi Islam .
Dengan mengetahui objek formal dan material sebuah ilmu, maka akan dapat ditelusuri eksistensinya melalui tiga pendekatan yang selalu dipergunakan dalam filsafat umum yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis . Pendekatan ontologis dijadikan sebagai acuan untuk menentukan hakikat dari ilmu ekonomi Islam. Sedangkan pendekatan epistemologis dipergunakan untuk melihat prinsip-prinsip dasar, ciri-ciri, dan cara kerja ilmu ekonomi Islam. Dan pendekatan aksiologis diperlukan untuk melihat fungsi dan kegunaan ilmu ekonomi Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari .

Secara ontologis, ilmu ekonomi Islam membahas dua disiplin ilmu secara bersamaan. Kedua disiplin ilmu itu adalah ilmu ekonomi murni dan ilmu fiqh mu’amalat. Dengan demikian, dalam operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan selalu bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut. Persoalan ontologis yang muncul kemudian adalah bagaimana memadukan antara pemikiran sekular ilmu ekonomi dengan pemikiran sakral yang terdapat dalam fiqh mu’amalat. Persoalan ini muncul mengingat bahwa sumber ilmu ekonomi Islam adalah pemikiran manusia sedangkan sumber fiqh mu’amalat adalah wahyu yang didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber ilmu pengetahuan ini menyebabkan munculnya perbedaan penilaian terhadap problematika ekonomi manusia. Sebagai contoh, ilmu ekonomi akan menghalalkan sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan komunis sejauh itu dapat memuaskan kebutuhan hidup manusia. Tetapi sebaliknya, fiqh mu’amalat belum tentu dapat menerima ketiga sistem itu karena dia masih membutuhkan legislasi dari Al-Qur’an dan Hadits.

Dari sisi lain, teori kebenaran ilmu ekonomi Islam dan ilmu fiqh mu’amalat tentu saja berbeda secara diametral. Tolok ukur kebenaran dalam ilmu ekonomi selalu mengacu kepada tiga teori kebenaran yang dipakai dalam filsafat ilmu yaitu teori koherensi (kesesuaian dengan teori yang sudah ada), teori korespondensi (kesesuaian dengan fenomena yang ada), dan teori pragmatisme (kesesuaian dengan kegunaannya) . Sedangkan teori kebenaran fiqh mu’amalat mengacu secara ketat terhadap wahyu. Artinya, transaksi ekonomi akan dipandang benar bilamana tidak terdapat larangan dalam wahyu. Berdasarkan perbedaan sumber pengetahuan dan teori kebenaran yang digunakan, maka tentu saja sulit untuk memadukan antara ilmu ekonomi dengan fiqh mu’amalat. Bahkan secara faktual diakui bahwa pemberlakuan sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan dan asuransi hampir sama dengan yang terdapat dalam sistem ekonomi konvensional.

Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Pada tahap ini, ilmu ekonomi menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan dan keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang berbunyi “apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik” . Teori tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam context of discovery .

Berbeda dengan hal itu, fiqh mu’amalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al-Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar. Dengan demikian, fiqh mu’amalat menggunakan penalaran yang bersifat kualitatif . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah illa dalla dalilu ‘ala tahrimihi (asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan kecuali dating sebuah dalil yang mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS Al-Baqarah:275). Cara kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal dengan context of justification .

Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan di atas bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama mutaqaddimin, misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di luar teks-teks naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah mengembangkan suatu metode analisis sosial dan historis yang terartikulasi dengan baik, meskipun Al-Ghazali telah membuat suatu paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan mengembangkan teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial . Dalam prakteknya, Al-Ghazali kemudian Al-Syatibi sebagai dua tokoh mashlahat dalam hukum Islam akhirnya jatuh juga dalam analisis tekstual seperti ulama-ulama lainnya.

Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan induksi secara bersamaan. Salah satu kelebihan Imam Syafi’i atas ulama lainnya justru dapat dilihat dari kepiawaiannya untuk menggabungkan antara metode induksi-deduksi dalam fatwa-fatwanya. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Imam Syafi’i memerlukan penelitian lapangan untuk menentukan jangka waktu terpendek dan terpanjang dari masa haid seorang wanita. Beliau kemudian mengembangkannya dengan qiyas terhadap masalah lainnya, seperti kewajiban shalat bagi wanita yang masa haidnya melebihi jangka waktu terlama dari seorang wanita normal . Perpaduan antara penelitian lapangan dengan qiyas yang dilakukan Imam Syafi’i tersebut secara tidak langsung mengantarkannya kepada pemaduan antara metode induksi dan deduksi.

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadid untuk menggantikan qaul qadim-nya . Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu lebih didasarkan atas perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota Mesir. Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi “taghayyar al-ahkam bi al-taghyar al-azmanah wa al-amkinah.

Perbedaan antara ilmu ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya . Sedangkan fiqh mu’amalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak (‘aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil . Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif. Atau dengan kata lain, ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh mu’amalat menentukan status hukum boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis .

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa aspek aksiologis ilmu ekonomi konvensional dapat saja bertentangan dengan aspek aksiologis fiqh mu’amalat karena sesuatu yang sah dalam transaksi bisnis belum tentu sah dalam pandangan fiqh mu’amalat. Sebagai contoh, modus transaksi kontemporer melalui perantaraan internet tanpa memperlihatkan barang yang dijadikan objek maupun tanpa kehadiran penjual dan pembeli dianggap sah dalam ilmu ekonomi sejauh kedua belah pihak sama-sama menyetujui memorandum of understanding (MOU) yang dibuat sebelumnya. Fiqh mu’amalat dengan sejumlah teorinya belum tentu menerima transaksi tersebut. Sedikitnya terdapat dua kejanggalan dalam transaksi jenis ini. Pertama tidak diperlihatkannya barang yang diperjualbelikan, dan kedua tidak adanya aqad jual beli yang wajib diucapkan secara jelas oleh masing-masing pihak.

Zulkarnain saat ini sedang menyelesaikan program S-2-nya di Pasca Sarjana, Program Studi Kajian Timur Tengah & Islam Universitas Indonesia, Jakarta.

(Pusat Layanan Al Quran)

---
Latihan & Perundingan: www.alfalahconsulting.com 
Perunding, Pensyarah & Motivator: www.ahmad-sanusi-husain.com 
Pelaburan Saham Amanah Islam: www.islamic-invest-malaysia.com

No comments:

Post a Comment