Perkembangan ekonomi syariah saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah tersebut meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk bisnis syariah lainnya.
Dalam mengembangkan dan memajukan lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Selain itu, ekonomi syariah bukan saja dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan, tetapi juga meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan dan pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan, dan sebagainya. Sepanjang subjek itu terkait dengan ekonomi syariah, maka keterlibatan ulama syariah menjadi niscaya. Ulama ekonomi syaria berperan :
1. berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan yang muncul baik skala mikro maupun makro.
2. Mendesign akad-akad syariah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syariah,
3. Mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syariah dijalankan sesuai syariah.
Untuk menjadi ulama ekonomi syariah dengan tugas seperti itu, diperlukan sejumlah syarat/kualifikasi. Kualifikasi ini diperlukan, karena ulama ekonomi syariah berperan mengeluarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan ekonomi syariah melalui ijtihad. Ijtihad merupakan pekerjaan para ulama dalam menjawab persoalan-persoalan hukum syariah dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul.
Menurut disiplin ilmu ushul fiqh, salah satu syarat yang harus dimiliki ulama yang bertugas berijtihad adalah menguasai ilmu ushul fiqh. Tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh, maka keberadaannya sangat diragukan, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai ulama ekonomi syariah. Demikian pula halnya dengan figur yang duduk sebagai majlis fatwa, dewan syariah atau dewan pengawas syariah yang senantiasa menghadapi masalah-masalah ekonomi syariah, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ilmu ushul fiqh dan perangkat ilmu syariah yang terkait.
Urgensi dan kedudukan ilmu ushul fiqh
Semua ulama sepakat bahwa ushul fiqh menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fiqh, maka diragukan ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” .
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh merupakan satu di antara tiga ilmu yang harus dikuasai setiap ulama mujtahid, dua lainya adalah hadits dan bahasa Arab. Prof. Salam Madkur (Mesir), mengutip pendapat Al-Razy yang mengatakan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang paling penting yang mesti dimiliki setiap ulama mujtahid. Ulama ekonomi syariah sesungguhnya (seharusnya) adalah adalah bagian dari ulama mujtahid, karena ulama ekonom syariah harus berijtihad memecahkan berbagai persoalan ekonomi, menjawab pertanyaan-pertanyaan boleh tidaknya berbagai transaksi bisnis modern, memberikan solusi pemikiran ekonomi, memikirkan akad-akad yang relevan bagi lembaga keuangan syariah. Memberikan fatwa ekonomi syariah, jika diminta oleh masyarakat ekonomi syariah. Untuk mengatasi semua itu, seorang ahli syariah (dewan syariah), harus menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam karena ilmu ini diperlukan untuk berijitihad.
Seorang ulama ekonomi syariah yang menduduki posisi sebagai dewan pengawas syariah apalagi sebagai Dewan Syariah Nasional, mestilah menguasai ilmu ushul fiqh bersama ilmu-ilmu terkait, seperti qaw’aid fiqh, tarikh tasyri’, falsafah hukum Islam, tafsir ekonomi, hadits-hadits ekonomi, dan sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Oleh karena penting dan strategisnya penguasaan ilmu ushul fiqh, maka untuk menjadi seorang faqih (ahli fiqh), tidak diharuskan membaca seluruh kitab-kitab fiqh secara luas dan detail, cukup mengetahui sebagian saja asal ia memiliki kemampuan ilmu ushul fiqh, yaitu kemampuan istinbath dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at, baik ijtihad istimbathy maupun ijtihad tathbiqy. Metodologi istimbath tersebut disebut ushul fiqh. Demikianlah pentingnya ilmu ushul fiqh bagi seorang ulama. Termasuk dalam lingkup ushul fiqh adalah pengetahuan maqashid syariah. Seorang ulama ekonomi syariah harus memahami konsep maqashid syariah dan penerapannya. Untuk menguasai ilmu maqashid syariah, harus dibaca buku-buku tentang ilmu maqashid syariah, seperti, Al-Muwafaqat karangan Imam Al-Syatibi, Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil karangan Imam Al-Ghazali, I’lamul Muwaqqi’in, karangan Ibnu Al-Qayim, Qawa’id Ahkam fi Masholih al-Anam, karya Izzuddin Abdus Salam (660 H), kitab Maqashid al- Syariah karya Muhammad Thahir Ibnu ’Ashur ( Tunisia, 1946, ) Al-Ijtihad karya Prof. Dr Yusuf Musa, dan sebagainya. Sedangkan untuk menguasai ilmu ushul fiqh secara mendalam minimal seorang ulama membaca 100 buku ushul fiqh. (Daftar buku ushul dipaparkan pada tulisan kedua artikel ini)
Dalam ilmu ushul fiqh dipelajari berbagai macam obyek kajian, seperti :
1. Kaedah-kaedah ushul fiqh kulliyah yang digunakan dalam mengistimbath hukum dan cara menggunakanya. Dengan mempelajari ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah akan mengetahui metode ijtihad para ulama.
2. Sumber-sumber hukum Islam ; Al-quran, Sunnah, dan Ijma’, serta metode perumusan hukum Islam, seperti qiyas, maslahah mursalah , istihsan, sadduz zari’ah, mazhab shahabi,’urf, qaul shahaby, dll.
3. Konsep Ijtihad dan syarat-syarat menjadi ulama mujtahid, juga konsep fatwa
4. Konsep qath’iy dan zhanniy,
5. Prioritas kehujjahan dalil-dalil syara’, dsb.
Selain ilmu ushul fiqh, seorang ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai qawa’id fiqh, khususnya yang terkait dengan qawa’id fiqh ekonomi (muamalah). Kitab-kitab qawa’id fiqh sangat luas dan beragam. Seorang ulama ekonomi syariah tidak cukup meguasai kitab Al-Asybah wan Nazhair karya Al-Suyuthy atau Al_Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah, Kitab Undang-Undang Ekonomi Islam Turki Usmani di masa lampau (1876), karena Qanun ekonomi Islam tersebut hanya berisi 100 qaidah fiqh ekonomi dan terlalu Hanafi centris. Namur demikian, Al-majallah ini seharusnya menjadi buku wajib pada mata kuliah qawaid fiqh di jurusan perbankan dan ekonomi syariah di IAIN/UIN. Di jurusan ekonomi Islam, jangan lagi diajarkan qawaid fiqh yang penuh munakahat, ibadah dan jinayat. Qawaid fiqh pada tiga bidang ini difokuskan di jurusan lain. Sedangkan jurusan ekonomi syariah atau perbankan syariah hanya membahas qawid fiqh tentang ekonomi keusangan.
Selain syarat menguasai ilmu ushul fiqh, maqashid dan qawa’id fiqh, seorang ulama ekonomi syariah juga harus menguasai ayat-ayat hukum. Menurut Imam Al-Ghazali, seorang ulama mujtahid paling tidak menguasai 500 ayat –ayat hukum syariah. Pendapat Imam Al-Ghazali, meskipun tidak relevan menjadi syarat ulama ekonomi syariah, karena 500 ayat tersebut mencakup munakahat, dan jinayat dan hukum dil luar ekonomi. Namun syarat tersebut harus menjadi pertimbangan dalam hal penguasaan ayat-ayat bagi ulama ekonomi syariah.
Jadi, paling tidak ulama ekonomi syariah seharusnya menguasai 370 ayat tentang ekonomi dalam Al-quran. Menurut C.C. Torrey dalam buku The Commercial Theological Term in the Quran dan Dr. Mustaq Ahmad dalam Etika Ekonomi dalam Al-Quran, bahwa di dalam Al-quran tedapat 370 ayat tentang bisnis. Maka semua ini harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah. Selain itu, ulama ekonomi syariah juga harus menguasai 1350 hadits-hadits ekonomi, ditambah ilmu mushthalah hadits. Oleh karena banyaknya ayat dan hadits tentang ekonomi dan bisnis, maka di seluruh program pascasarjana ekonomi keuangan Islam, materi ayat dan hadits bekonomi ini dijadikan sebagai mata kuliah wajib.
Dalam konteks pemahaman ayat-ayat ekonomi, seorang ulama ekonomi syariah harus mengeatahui asbabun nuzul, juga masalah-masalah yang telah diijma’iy ulama, metode ijma’, syarat-syarat ijma’, metode qiyas, metode maslahah, ishtihsan, ‘urf, qaul Sahabi, dan sebagainya.
Melihat, sejumlah syarat-syarat yang harus dimiliki ulama ekonomi syariah, ada tiga hal yang menjadi catatan.
Pertama, kelihatannya menjadi ulama ekonomi syariah tersebut, sangat sulit, tetapi bagi generasi yang hidup dan bergelut dengan tradisi keilmuan syariah sejak usia dini, memenuhi syarat-syarat itu tidaklah terlalu sulit. Maka, jika kita mau jujur, ikhlas, dan terbuka, masih ada ahli-ahli syariah di Indonesia yang memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang ushul fiqh dan sekaligus tentang ekonomi Islam. Majlis Ulama Indonesia dan bank-bank syariah harus secara cerdas memilih dan mempertahankan para ahli syariah yang memenuhi kualifikasi yang memadai dan bisa diandalkan.
Kedua, para mahasiswa pascasarjana jurusan ekonomi syariah di manapun berada, tidak perlu berkecil hati, jika bukan dibesarkan dari pendidikan syariah yang arabic (Ibtidaiyah salafi, Tsanawiyah salafi dan Aliyah salafi). Maksud sekolah salafi adalah sekolah yang semua rujukan pelajarannya berbahasa Arab, kitab kuning), dan tak perlu juga berkecil hati jika bukan berasal dari sarjana syariah, karena tujuan belajar ilmu ushul fiqh di program ekonomi syariah bukanlah untuk menjadi mujtahid (ulama) yang ahli ushul fiqh, pakar ushul fiqh atau dosen ushul fiqh yang handal, tetapi sekedar untuk :
1. Memahami dan mengetahui metode istimbath para ulama dalam menetapkan hukum Islam, khususnya hukum ekonomi keuangan,
2. Mengetahui kaedah-kaedah ushul fiqh dan qawaid fikih dan cara menerapkannya
3. Mengetahui dalil-dalil hukum ekonomi Islam dan proses ijtihad ulama dari dalil-dalil yang ada.
4, Mengetahui sumber-sumber hukum ekonomi Islam dan keterkaitannya dengan epistemologi ekonomi Islam.
5. Mengetahui prinsip-prinsip umum syariah yang ditarik dari Al-quran dan sunnah.
Hal itu sama dengan seorang sarjana syariah belajar ekonometrik. Tujuannya bukanlah menjadi pakar ekonometrik, atau dosen ekonometrik, tetapi dapat menerapkannya dalam metode penelitian ekonomi, mengukur berbagai macam resiko, dan sebagainya. Dengan berbekal ilmu ushul fiqh, seorang mahasiswa pascasarjana sudah dapat menjadi konsultan ekonomi syariah, Dewan Pengawas Syariah, menjadi praktsi ekonomi syariah yang memahami metode menetapkan hukum ekonomi Islam, juga menjadi officer atau ALCO di bank-bank syarah.
Ketiga, keharusan belajar ilmu ekonomi keuangan dan ushul fiqh secara ekstra. Ulama yang ahli syariah, jika diminta menjadi Dewan Pengawas Syariah, misalnya, seharusnya memiliki ghirah yang kuat untuk mendalami dan mempelajari ilmu ekonomi dan perbankan serta keuangan, sebab tanpa bekal ilmu ekonomi dan perbankan, maka rumusan fatwa bisa tidak tepat dan kaku. Bahkan DPS wajib belajar akuntansi secara sederhana, agar bisa membaca laporan keuangan lembaga keuangan syariah. Sedangkan bagi Dewan Pengawas Syariah atau anggota Dewan Syariah Nasional yang bukan berasal dari latar pendidikan ilmu syariah, tidak segan-segan belajar ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah lainnya kepada ahli ushul fiqh yang memahami ekonomi keuangan, juga belajar ilmu maqashid, falsafah tasyri’ dan tarikh tasyri’, juga ilmu bahasa Arab, tafsir ayat-ayat ekonomi, hadits-hadits ekonomi. Upaya integrasi ilmu ini menjadi keniscayaan, agar di masa depan dikhotomi ahli ilmu syariah dan ahli ekonomi umum dapat dihilangkan secara bertahap. Pada gilirannya nanti, sejalan dengan berkembangnya program doktor (S3) ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi dunia, figur integratif yang menguasai dua bidang keilmuan sekaligus dapat diwujudkan.
Para ulama ekonomi ekonomi syariah (Dosen Perguruan Tinggi, DPS dan DSN) yang belum mendalami ilmu ushul fiqh harus membaca sejumlah kitab-kitab ushul fiqh yang terkenal, agar bisa memahami dasar-dasar ilmu ushul fiqh dan maqashid. Sarjana ekonomi umum memang sulit menjadi ahli ushul fiqh. Namun pemahaman pokok-pokoknya tidaklah terlalu sulit asalkan mau dan serius belajar, khususnya di perguruan Tinggi.
Menurut Ibnu Taymiyah, untuk menjadi ahli di bidang tertentu, seperti ushul fiqh, paling tidak menguasai (mempelajari) seratus buku ushul fiqh. Upaya untuk menjadi ahli ilmu ushul fiqh secara mendalam hanyalah melalui proses pendidikan panjang dan intensif, seperti melalui pendidikan pesantren salafi, selanjutnya dikembangkan di Perguruan Tinggi S1, S2 dan S3. Di pesantren salafi (kitab kuning) buku-buku ushul fiqh yang dibaca sangat terbatas, karena tidak ada tradisi membuat makalah dan presentasi dengan membaca puluhan buku ushul fiqh, tetapi di Perguruan Tinggi, seorang mahasiswa yang mendalami ushul fiqh dapat membaca puluhan, belasan, bahkan seratusan buku-buku ushul fiqh dan ilmu-ilmu syariah yang terkait. Hal itu dikarenakan mahasiwa diwajibkan membuat makalah atau membuat karya ilmiah skripsi atau tesis yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Fakultas Syariah IAIN/UIN/STAIN, merupakan lembaga kajian ilmu-ilmu syariah, yang secara intensif mengkaji ilmu ushul fiqh, qawai’d fiqh dan ilmu syariah yang terkait. Sudah Menjadi tradisi dan lumrah dalam pembuatan skripsi tentang ushul fiqh, mahasiswa membaca seratusan kitab ushul fiqh dan disiplin ilmu syariah yang terkait.
Mahasiswa unggulan dan terbaik dari perguruan tinggi Islam tersebut dapat menjadi calon ilmuwan ushul fiqh jika dia mengembangkan lagi di program pascasarjana S2 dan S3 ekononi syariah atau program studi syariah saja. Ketika memasuki jenjang S3, seorang sarjana syariah seharusnya bisa menjadi mujtahid, asalkan memenuhi sejumlah syarat yang dikemukakan di atas. Namun harus dicatat masih banyak sarjana syariah yang belum memenuhi kualifikasi sebagai ulama ekonomi syariah. Indikatornya mudah sekali diukur antara lain, kemampuan bahasa Arab, kemampuan berijtihad dengan imu ushul fiqh dan qawa’id fiqh, kemampuan penguasaan ayat-ayat al-quran dan tafsirnya (khususnya tentang ekonomi), juga kemampuan ilmu hadits-hadits. Jika keempat indikator ini saja tidak beres, maka kedudukan sebagai calon ulama ekonomi syariah menjadi gugur.
Namun harus dicatat, jika 4 indikator tersebut sudah dipenuhi, seseorang belum tentu bisa mejadi ulama ekonomi syariah, karena dia disyaratkan harus menguasai ilmu ekonomi syariah, dan teknik perbankan dan keuangan. Syarat untuk menguasai ilmu ekonomi syariah tidak bisa tidak, harus belajar dulu ilmu ekonomi konvensional, baik mikro maupun makro, bahkan ilmu ekonomi pembangunan, public finance, ilmu akuntansi dan perbankan dan lembaga keuangan. Semua ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan formal atau training berkelanjutan.
Buku-buku yang terkait kuat dengan ushul fiqh juga harus dikuasai oleh ulama ekonomi syariah, seperti kitab-kitab tarikh tasyri’, fiqh muamalah klasik dan kontemporer, perbandingan mazhab, qawaid fiqh, falsafah asyri’ atau falsafah hukum Islam. Sulit menyebutkan nama-nama kitab yang direkomenfasikan untuk dikuasai para ulama ekonomi syariah, karena ruangan yang terbatas. Sekedar contoh, untuk menguasai ilmu tarikh tasyri’, ulama ekonomi syariah minimal membaca buku Tarikh Tasyri’ Abdul Wahhab Khallaf, Tarikh Tasyri’ Muhammad Ali Al-Sayis, Tarikh Mazahib al-Islamiyah Muhammad Abu Zahroh, Tarikh Tasyrik Khudhriy Beyk dan sebagainya. DI IAIN belasan buku tarikh tasyrik menjadi buku wajib untuk mata kuliah bersangkutan.
Oleh Agustianto
(Penulis adalah Dosen Ushul fiqh Ekonomi, Fiqh Muamalah Ekonomi, Ayat Hadits ekonomi di Pascasarjana UI, Islamic Economic and Finance Trisakti, Program Magister (S2) Perbankan dan Keuangan Universitas Paramadina, Pascasarjana Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Az-Zahro, UIN Syahid Jakata dan UHAMKA, juga sebagai Advisor di Bank Muamalat Indonesia).
---